Tuesday, March 23, 2010

Sebuah pandangan tentang konsekuensi terbitnya PP 14 Tahun 2010 terhadap Eksistensi STAN

Hampir tujuh tahun setelah disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan setahun sejak disahkannya UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang Pendidikan Kedinasan akhirnya ditetapkan pada tanggal 22 Januari 2010. PP tentang Pendidikan Kedinasan ini (PP Nomor 14 Tahun 2010) merupakan pengejawantahan Pasal 29 UU Sisdiknas. Demikian pula dengan UU BHP, yang juga merupakan pelaksanaan amanat Pasal 53 UU Sisdiknas.

Terdapat keunikan pada PP tentang Pendidikan Kedinasan ini. Keunikan tersebut terletak pada Bab XIII tentang Ketentuan Peralihan. Pada bagian ini, PP memberikan pilihan yang bersifat mutlak kepada seluruh penyelenggara Satuan Pendidikan Tinggi Kedinasan saat ini. Sesuai dengan Pasal 24 ayat (1), satuan pendidikan kedinasan diwajibkan untuk mengubah statusnya menjadi beberapa alternatif model yang salah satunya adalah menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 2009.

Sesungguhnya sejak diundangkannya UU Nomor 20 Tahun 2003, eksistensi Pendidikan Kedinasan ataupun Pendidikan Tinggi Kedinasan (PTK) telah mati suri. UU tersebut sama sekali tidak mengakomodasi kondisi riil PTK yang ada. Pasal 29 ayat (1) UU tersebut menyebutkan bahwa, “Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen”. Pada penjelasan Pasal 15 UU tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.

PP 14 Tahun 2010 bahkan memberikan definisi pendidikan kedinasan secara lebih detail. PP tersebut menyatakan bahwa pendidikan kedinasan adalah pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh kementerian, kementerian lain, atau lembaga pemerintah nonkementerian yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai negeri dan calon pegawai negeri. Adapun pengertian pendidikan profesi pada PP ini tidak berbeda pendefinisiannya dengan versi menurut UU Sisdiknas.

Pengertian pendidikan kedinasan pada PP maupun UU tersebut sangat jelas tidak mencerminkan kondisi sebagian besar PTK yang ada di Indonesia. Ingat bahwa hampir sebagian besar PTK lebih banyak menyelenggarakan pendidikan program diploma (Diploma I, III, dan IV) seperti halnya Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) sebagai penyelenggaran pendidikan kedinasan di lingkungan Kementerian Keuangan. Dengan demikian, UU Sisdiknas pada hakekatnya tidak menginginkan keberadaan pendidikan kedinasan sebagaimana yang ada saat ini yaitu menyelenggarakan pendidikan pasca-SMA. Pemerintah, dalam hal ini Kemendiknas, hanya memberikan peluang kepada lulusan SMA dan sederajat untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan tinggi umum. Dengan kata lain, tidak ada peluang lagi bagi lulusan SMA dan sederajat untuk mengenyam pendidikan gratis pada sebuah Pendidikan Tinggi Kedinasan yang menawarkan pembebasan biaya pendidikan, seperti misalnya STAN.

Bagaimana dengan STAN pasca-PP 14 Tahun 2010?

Sesuai dengan pasal 24 ayat (2) PP 14 Tahun 2010, seluruh satuan pendidikan kedinasan diberikan kesempatan untuk melakukan penyesuaian status barunya sampai dengan lima tahun ke depan sejak berlakunya PP 14 Tahun 2010. Hingga saat ini STAN masih merupakan pendidikan tinggi kedinasan di lingkungan Kementerian Keuangan yang mendidik lulusannya (berasal dari lulusan SMA dan sederajat) menjadi pengelola keuangan dan kekayaan negara. Jenjang pendidikan yang diselenggarakan meliputi pendidikan Program Diploma I dan III. Khusus bagi lulusan Program Diploma III yang telah memenuhi persyaratan, nantinya mereka dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Program Diploma IV yang ujian saringan masuknya diselenggarakan secara nasional.

STAN melakukan rekrutmen ketat terhadap seluruh calon mahasiswanya. Penerimaan mahasiswa baru hanya dilakukan setahun sekali melalui suatu Ujian Saringan Masuk (USM) yang diselenggarakan secara serentak di beberapa kota di Indonesia. Calon mahasiswa yang disaring adalah lulusan Sekolah Menengah Atas dan sederajat yang memiliki prestasi nilai tertentu. Peserta USM yang lulus pun dipastikan adalah putra-putri terbaik Indonesia karena passing grade kelulusan yang sangat tinggi. Persentase rata-rata peserta yang dinyatakan lulus USM berkisar hanya 5% dari seluruh peserta ujian. Proses penyaringan ini tidak hanya dilakukan pada saat mengikuti proses USM tetapi juga selama mahasiswa menjalani pendidikannya. Sisi baiknya adalah bahwa selama pendidikan mahasiswa tidak dipungut biaya apapun yang terkait dengan kegiatan akademik. Lulusannya pun selama ini dialokasikan ke Kementerian Keuangan dan instansi pemerintah lainnya, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Kondisi eksisting yang diuraikan di atas tidak akan ada lagi bila STAN mempertahankan statusnya sebagai Pendidikan Tinggi Kedinasan sebagaimana diatur dalam PP 14 Tahun 2010. Sesuai PP tersebut, bila STAN tetap menjadi PTK maka program pendidikan yang harus diselenggarakan adalah program-program keterampilan yang diperuntukkan bagi PNS atau CPNS yang telah menyandang ijazah S-1 dan atau D-IV guna peningkatan hardskill dan softskill mereka.

Sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) huruf (a) PP 14 Tahun 2010 disebutkan bahwa untuk pendidikan kedinasan yang peserta didiknya pegawai negeri dan calon pegawai negeri (STAN dipandang memenuhi ketentuan ini), baik pusat maupun daerah, tersedia 4 (empat) alternatif penyesuaian, yaitu:

1. Menjadi pendidikan dan pelatihan pegawai yang diselenggarakan oleh Kementerian, Kementerian lain, atau Lembaga Pemerintah Nonkementerian (LPNK) yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk memenuhi kebutuhan akan keterampilan pegawai.

2. Dipertahankan tetap menjadi pendidikan kedinasan yang memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam PP 14 Tahun 2010, untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan profesi, spesialis, dan keahlian khusus lainnya.

3. Dialihstatuskan menjadi badan hukum pendidikan, yang kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan sebagai pendiri memiliki representasi dalam organ representasi pemangku kepentingan, untuk kebutuhan akan pendidikan menengah, pendidikan tinggi vokasi, dan pendidikan tinggi akademik.

4. Dialihstatuskan menjadi badan hukum pendidikan, yang kementerian lain atau LPNK yang bersangkutan sebagai pendiri memiliki representasi dalam organ representasi pemangku kepentingan, untuk memenuhi sekaligus semua kebutuhan sebagaimana dimaksud pada alternatif 1, 2, dan 3 di atas.

Alternatif mana yang sebaiknya dipilih oleh STAN?

Penulis tentu saja tidak dalam kapasitas sebagai penentu kebijakan pemilihan alternatif mana bagi STAN pasca-PP 14 Tahun 2010. Keputusan tersebut tentu saja berada di tangan para pengambil kebijakan termasuk diantaranya Menteri Keuangan. Dalam tulisan ini, penulis hanya memaparkan pendapat berdasarkan analisis pribadi semata.

Di bagian sebelumnya penulis telah mengungkapkan secara eksplisit bahwa alternatif kedua tidak dapat dipilih oleh STAN seandainya para pengambil kebijakan tetap menginginkan pendidikan yang diselenggarakan oleh STAN adalah program pendidikan yang masih sama dengan yang diselenggarakannya saat ini. Alternatif kedua sebenarnya tidak jauh berbeda dengan alternatif pertama. Keduanya sama-sama menyelenggarakan program pendidikan keterampilan bagi para pegawai negeri. Bedanya hanya terletak pada status dan implikasinya saja. Alternatif kedua menjadikan STAN tetap menyandang status sebagai Pendidikan Tinggi Kedinasan yang menyelenggarakan pendidikan bagi pegawai negeri atau calon pegawai negeri dengan tujuan meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam bidang tertentu yang lulusannya akan mendapatkan sertifikat kompetensi (bukan ijazah). Sedangkan alternatif pertama mengubah PTK menjadi sebuah Pusdiklat (Pusat Pendidikan dan Pelatihan). Saat ini, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Kementerian Keuangan telah memiliki enam Pusdiklat yang menangani berbagai pelatihan bagi para pegawai Kementerian Keuangan dan kementerian lain. Salah satu diantaranya adalah Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia.

Dengan demikian, menurut penulis, alternatif pertama dan kedua merupakan alternatif yang kurang tepat untuk dipilih. Oleh karenanya, alternatif yang paling mungkin bagi STAN bila ingin mempertahankan program pendidikan yang saat ini diselenggarakan adalah alternatif ketiga atau keempat. Alternatif ketiga hanya memberikan peluang bagi STAN untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi saja. Sedangkan alternatif keempat lebih bersifat komprehensif. Alternatif ini memungkinkan STAN tidak hanya berkiprah di penyelenggaraan program pendidikan diploma saja namun dapat pula memberikan kontribusi bagi pihak lain (misalnya instansi pemerintah pusat ataupun daerah) dalam bentuk pemberian pelatihan-pelatihan di bidang keuangan dan kekayaan negara. Dengan kata lain, alternatif terbaik dari empat pilihan menurut PP 14 Tahun 2010 bagi STAN dalam rangka mempertahankan eksistensinya adalah alternatif keempat yaitu berubah status menjadi BHP yang kegiatannya tidak hanya terbatas pada penyelenggaraan pendidikan program diploma.

Akan seperti apakah STAN bila menjadi BHP?

Bila STAN mengubah statusnya menjadi BHP maka STAN harus tunduk pada seluruh ketentuan yang ada pada UU Nomor 9 Tahun 2009. Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU tersebut, bentuk BHP yang tepat bagi STAN adalah Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP). Menurut penulis, beberapa hal yang pasti terjadi bila STAN menjadi BHPP diantaranya adalah:

1. Struktur organisasi berubah total. STAN bisa saja tidak lagi berada di bawah BPPK meskipun masih bernaung di lingkungan Kementerian Keuangan. Sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2009 disebutkan bahwa organ BHP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi terdiri atas (a) organ representasi pemangku kepentingan, (b) organ representasi pendidik, (c) organ audit bidang nonakademik, dan (d) organ pengelola pendidikan. Selanjutnya, anggota organ representasi pemangku kepentingan sesuai Pasal 18 ayat (2) paling sedikit terdiri atas:

a. Pendiri atau wakil pendiri (sesuai PP 14 Tahun 2010, dalam hal ini adalah Menteri Keuangan).

b. Wakil organ representasi pendidik (paling sedikit terdiri atas wakil profesor dan wakil pendidik).

c. Pemimpin organ pengelola pendidikan.

d. Wakil tenaga kependidikan.

e. Wakil unsur masyarakat.

2. Kekayaan yang dimiliki STAN akan menjadi kekayaan Kementerian Keuangan (baca: negara) yang dipisahkan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 37 UU Nomor 9 Tahun 2009. Selanjutnya pada Pasal 11 ayat (2) diatur pula bahwa jumlah kekayaan yang dipisahkan tersebut harus memadai untuk biaya investasi dan mencukupi untuk biaya operasional BHP yang ditetapkan dalam anggaran dasar. Kondisi ini akan menjadi hal yang dilematis bagi STAN mengingat di atas tanah yang dikuasai STAN berdiri pula bangunan yang dibiayai oleh BPPK dan dipergunakan bagi kegiatan Pusdiklat Kekayaaan Negara dan Perimbangan Keuangan (KNPK) dan Pusdiklat Pengembangan SDM. Selain itu, terdapat pula rumah-rumah dinas yang selama ini pengelolaannya dilakukan oleh Sekretariat BPPK.

3. Laporan keuangan tahunan harus diumumkan kepada publik melalui surat kabar berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional dan papan pengumuman. Laporan keuangan tersebut diaudit oleh akuntan publik. Khusus atas dana yang berasal dari pemerintah (BHPP mengklasifikasikannya sebagai hibah) akan diaudit oleh unit pengawasan eksternal pemerintah (BPK) dan unit pengawasan internal pemerintah (Inspektorat Jenderal).

4. Sumber daya manusia yang ada pada BHPP terdiri atas pendidik dan tenaga kependidikan yang dapat berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan atau pegawai BHPP. Pengangkatan dan pemberhentian jabatan serta hak dan kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan ditetapkan dalam perjanjian kerja berdasarkan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serta peraturan perundang-undangan.

Pertanyaannya kemudian adalah akankah lima tahun ke depan (atau mungkin kurang dari 5 tahun) STAN akan benar-benar menjadi BHPP sebagaimana yang penulis uraikan di atas atau bahkan tetap menjadi sebuah PTK atau, yang lebih ekstrim, tetap kembali berstatus quo? Mari bersama-sama kita nantikan kelanjutan/kontinuitas sekolah tinggi plat kuning yang telah banyak mencetak orang-orang besar di negeri ini. Informasi yang dapat penulis sampaikan kepada para pembaca adalah bahwa Direktur STAN, Kusmanadji, telah membentuk suatu taskforce yang khusus membedah berbagai alternatif yang ditawarkan oleh PP 14 Tahun 2010. Bahkan, kabarnya, kehadiran PP 14 Tahun 2010 ini telah menjadi agenda khusus yang perlu secepatnya dibahas di tingkat Kementerian Keuangan.
(Tangsel, 23/3/10)

Sunday, March 14, 2010

Aloha....

Hmm nggak terasa dah setahun lebih 3 bulan gw nggak ngapdet blog ini. Rasanya kok percuma banget punya blog tapi nggak bisa dipake buat tempat curhat hahahaha
Padahal selama setahun kemarin, banyak banget topik yang bisa gw tumpahin ke blog ini, hukz.
Ya udah lah..yang lalu biarlah berlalu. Tahun ini gw mau coba tekad-in ngaktifin blog ini ama tulisan2 apa ajalah. Sampah juga nggak apa2 kan..?
See u soon....

Tangerang Selatan