Tuesday, January 10, 2012

Tragedi Pegawai KPPN

(Sumber: Copas dari sebuah milis alumni)
"Semua pegawai KPPN, khususnya front office (FO) dan seksi-seksi tertentu akan mengundurkan diri daripada tertimpa musibah dalam bentuk menanggung dosa yang tidak pernah mereka lakukan."(Pembelaan EIS, terdakwa kasus 'pemalsuan SPM' yang merugikan keuangan negara).Terus terang, ada rasa sanksi atas penegakan hukum yang masih jauh dari rasa keadilan di negeri ini. Dan kemarin sore (9 Januari 2011), kembali terdengar kabar tidak sedap karena dua orang pegawai negeri sipil (PNS) lingkup kementerian keuangan divonis bersalah oleh majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Terpidana EIS selaku penandatangan SP2D divonis bersalah 1,5 tahun dan denda Rp100 juta atau subsidaire 3 bulan kurungan, sedangkan ES selaku petugas  FO  divonis 1 tahun dan denda Rp100 juta atau subsidaire 3 bulan kurungan.
Kasus ini  bermula dari penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM) yang diduga  asli tapi palsu (ASPAL)bernomor 00155/440372/XI/2008 tanggal 19 November 2008 yang ditandatangani SUP selaku pejabat penandatangan SPM pada Satker (SNVT) lingkup Ditjen Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum senilai Rp9,95 miliar atas nama PT. CSC yang belakangan diketahui fiktif. (Sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/02/02/16184379/Wah.Dokumen.Anggaran.Pun.Dipalsukan).

Sesuai prosedur kerja, SPM tadi ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) bernomor 928710J tertanggal 21 November 2008  sebesar Rp8.824.221.000,00 (setelah dipotong pajak)
oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dalam hal ini ditandatangani oleh EIS selaku Kepala Seksi Perbendaharaan KPPN Jakarta II. (Sumber :
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/03/01/207079/7/5/Polisi-Tahan-Dua-Pegawai-Pelayanan-Perbendaharaan-NegaraJaksa
Penuntut Umum (JPU) pada persidangan tanggal 6 September 2011 menuntut terdakwa EIS dan ES dengan dakwaan primer dan sekunder karena diyakini tidak melakukan penelitian yang mendalam terhadap  SPM  Nomor 00155/440372/XI/2008 dan memprosesnya menjadi SP2D. Karenanya, JPU mendakwa keduanya tidak mematuhi   Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005 dan melanggar Keputusan Dirjen Perbendaharaan Nomor KEP-297/PB/2007.   (Sumber :
http://www.perbendaharaan.go.id/new/index.php?pilih=news&aksi=lihat&id=2698)
Dalam dakwaan primernya, JPU mendakwa EIS dan ES "sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau  perekonomian negara." (Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Sedangkan dakwaan sekunder, keduanya didakwa "sebagai orang yang melakukan atau turut sertamelakukan perbuatan yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena  jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara." ((Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Menarik sekali menyimak pleidoi (nota pembelaan) yang dibacakan langsung oleh EIS. Terdakwa mengungkapkan rasa heran dan bingung mengapa Direktur PT. CSC  (Penerima dana)  dan  SUP (selaku pejabat penerbit SPM) tidak diseret juga ke pengadilan TIPIKOR karena jelas-jelas yang bersangkutan sendiri yang menandatangani 60 lembar blangko SPM kosong sesaat sebelum yang bersangkutan berangkat menunaikan ibadah haji?   (Sumber :
http://www.keuanganpublik.com/)
Selain itu, EIS juga menyatakan keheranan terhadap kredibilitas dan kompetensi dari Saksi Ahli yang diajukan oleh JPU yakni Dr. Dian Puji Simatupang yang ternyata belakangan diketahui bukan pakarHukum Keuangan Negara tetapi Hukum Administrasi Negara dari curriculum vitae-nya (CV/Riwayat Hidup). Terdakwa mensinyalir saksi ahli yang diajukan JPU tersebut, tidak memiliki latar pendidikan yang mamadai di bidang hukum Keuangan Negara dan tidak memahami masalah-masalah perbendaharaan negara, kecuali sekadar membaca pasal demi pasal dan menafsirkan menurut pendapatnya sendiri.
Sesuai ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan kemudian diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kewenangan Menteri Teknis dalam pengelolaan keuangan di masing-masing Kementeriannya lebih dominan dibandingkan Menteri Keuangan. Menteri Teknis sebagai Pengguna Anggaran (PA), dan semua satker jajarannya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), memiliki kewenangan sebagai Otorisator (melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan adanya pengeluaran dan/atau penerimaan negara) dan sekaligus sebagai Ordonatur(melakukan pengujian atas tindakan yang dilakukan oleh Otorisator dan memerintahkan pembayaran kepada comptabel) bagi anggarannya masing-masing. Sedangkan Menteri Keuangan, beserta jajarannya, hanya memiliki kewenangan Comptabel (Bendahara Umum Negara). Merujuk pendapat hukum Drs. Siswo Sujanto, DEA (Ketua Tim
Kecil Penyusunan Paket UU Bidang Keuangan Negara), yang turut dihadirkan sebagai saksi ahli
dalam kasus ini menjelaskan bahwa pembagian kewenangan tersebut (Otorisator, Ordonator, dan Comptabel) didasarkan pada prinsip let's the manager manage. Beliau mengemukakan
dalam persidangan bahwa prinsip tersebut, hakekatnya menyatakan "anggaran yang diajukan/diminta oleh Kementerian Teknis, diberikan oleh DPR kepada Menteri Teknis untuk membiayai kegiatan yang diusulkan, diputuskan penggunaannya dan dilaksanakan sendiri oleh Menteri Teknis yang bersangkutan, dan konsekuensinya harus dipertanggungjawabkan pula oleh Menteri Teknis. "Merujuk keterangan Saksi Ahli yang diajukan terdakwa yakni Prof. Dr. Muhsan, S.H. (Mantan Hakim Agung, Professor Hukum Administrasi Negara, Pendamping Ahli Tim Penyusunan paket UU Bidang Keuangan Negara), berpendapat "Menteri Teknis merupakan lastgevers (pemberi mandate/ perintah) yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan Menteri Keuangan yang merupakan lasthebbers (penerima mandate/ perintah). "Selanjutnya,
 Prof. Muhsan mengemukakan pendapat hukumnya, "Oleh sebab itu, semua perintah Menteri Teknis beserta jajarannya dalam hal pengeluaran Negara yang diwujudkan dalam bentuk surat perintah membayar (SPM), sepanjang sesuai persyaratan administratif yang ditentukan, harus dilaksanakan pencairan dananya. Hal ini, harus dilakukan karena semua tanggungjawab terhadap keputusan yang dilakukan merupakan tanggungjawab Kementerian Teknis/ satker yang bersangkutan. Kalaupun pihak Kementerian keuangan (dhi. KPPN) harus melakukan pengujian hanyalah pengujian administrative dan bersifat pengulangan (rechek). Bukan bersifat pengujian materiil (substantif)."Terlepas dari pertimbangan majelis   hakim dalam memutus perkara itu, dari lubuk hati terdalam, penulismenyatakan turut prihatin dan bersimpati atas musibah yang menimpa Korps Lapangan Banteng. Perlu kiranya majelis hakim  lebih  membuka mata hatinya untuk mendengar suara hati, karena vonis yang diputuskan kemarin akan berimplikasi besar terhadap perekonomian negara, khususnya penyerapan APBN di tahun anggaran 2012.
Perlu disadari, para pegawai KPPN (khususnya petugas seksi pencairan dana) sebagai ujung tombak dalam pencairan dana APBN mesti akan bertindak  ekstra  hati-hati dalam meneliti SPM yang diajukan Satker-Satker yang berada di wilayah kantor bayarnya. Dikhawatirkan, saking hati-hatinya, petugas tidak akan menolerir kesalahan dalam dokumen SPM sekalipun itu  kesalahan kecil (misalnya kesalahan ketik/redaksional) sehingga tingkat pengembalian SPM (SPM tidak dapat diproses menjadi SP2D) akan meningkat pesat.
Tentu saja, proses penerbitan SP2D menjadi berbelit-belit dan butuh waktu lama hingga betul-betul diyakini SPM yang diajukan tepat jumlah, tepat penerima pembayarannya dan tepat pula peruntukannya.Siapa juga yang mau menerima resiko, divonis bersalah (hukuman penjara dan denda ratusan juta rupiah) atas tindakan yang belum tentu dilakukannya? Siapa pula yang rela mendapat stigma (dicap) sebagai seorang koruptor atas  dosa/kesalahan yang belum tentu diperbuatnya?
Khusus kepada pucuk pimpinan yang berkantor di kawasan Lapangan Banteng, penulis meminta dengan sangat agar diberikan rasa aman dan kepastian hukum kepada para pegawai dengan terusmenyempurnakan sistem dan prosedur kerja (SOP) dan perlindungan hukum sehingga musibah yang menimpa rekan kami tidak terulang kembali.
Bukan kami tak  butuh  gedung yang megah, taman yang indah,  dan peralatan kerja yang lengkap, tapi yang lebih kami butuhkan adalah rasa kebersamaan, RASA AMAN, rasa kekeluargaan dan solidaritas korps  yang sepertinya mulai luntur di tengah tantangan tugas ke depan yang semakin berat.Demikian, postingan pertama di tahun 2012 ini, sekadar untuk mencurahkan isi hati sekaligus solidaritas untuk senior dan junior yang nasibnya kini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Terima kasih.
 #santorry saad#

No comments: