Wednesday, August 06, 2014

8 Tahun Yang Lalu

Malam itu aku sulit tidur. Perasaanku sangat gelisah. Entah ada firasat apa. Yang pasti, setelah kelopak mataku tidak mau terpejam meskipun sudah kupaksakan berkali-kali, akhirnya kukatakan pada istriku bahwa aku akan mencoba tidur di atas sofa di ruang tamu.Istriku pun mengizinkan. Ia tahu bahwa aku memang sedang gundah.
Jarum jam menunjukkan pukul 1 dini hari. Hari ini, Minggu, 6 Agustus 2006 menjadi hari yang berat dalam hidupku. Sabtu pagi aku masih mengajar pada sebuah diklat di Gadog, Bogor. Aku tidak bisa menuntaskan tugasku sebagai fasilitator hingga sore hari. Penyebabnya adalah kabar yang kuterima dari kakakku via sms berkali-kali yang tak kunjung kujawab. Memang, saat mengajar aku selalu menonaktifkan hape.
Saat coffee break barulah aku bisa membaca sms yang masuk dalam hapeku ataupun melihat apakah ada yang misscall atau tidak.
Aku sungguh terkejut mendengar penjelasan kakakku dari ujung telepon sana. Kakak keduaku mengabarkan bahwa pagi tadi ayah kami tiba-tiba muntah-muntah. Ia mengabarkan pula bahwa ayah kami saat ini sedang berada di UGD RS Husada Jakarta.
Mendengar kabar tentang kondisi ayah kami tersebut sontak aku lemas. Aku pun segera mengakhiri sesi materiku dengan memberikan tugas kepada peserta diklat dan bergegas menuju Jakarta.

Kondisi beliau kembali drop, begitu pikirku. Beberapa bulan lalu ayahku baru saja pulang dari opname selama hampir 2 minggu di sebuah rumah sakit di bilangan Sunter, Jakarta. Penyebabnya menurut dokter adalah adanya luka pada lambung yang menyebabkan ia kekurangan darah. Sekitar 3 kantong darah, kalau aku tak salah ingat, diinfuskan ke dalam tubuh ayahku.
Selama ini beliau jarang sekali sakit. Meski usianya sudah berkepala tujuh namun fisik beliau masih sangat kuat. Tiap pagi beliau bahkan rutin melakukan lari pagi. Jarak yang ditempuh antara 2-5 km. Bahkan terkadang lebih dari jarak itu.

Aku masih ingat saat-saat beliau masih segar bugar sebelumnya akhirnya jatuh sakit. Pagi itu kami berdua mengunjungi kerabat yang meninggal dunia. Almarhum adalah sahabat baik ayah kami karena memang berasal dari kampung halaman yang sama di Jawa Timur.
Sekembali ke rumah dari melayat tersebut ayahku berkata dengan tatapan seperti memohon, "Wat, bapak mau ikut mengantar jenazah." Aku lantas mengiyakan keinginan ayahku. Karena aku tahu seperti apa kedekatan ayahku dengan temannnya tersebut. Aku hanya berpesan agar ayahku berhati-hati selama dalam perjalanan.

Beberapa hari kemudian aku dikejutkan kabar sakitnya ayahku di kampung halamannya. Yang memberi kabar adalah keluarga istriku yang tinggal tak jauh dari kampung halaman ayahku. Aku segera minta kepada bapak mertuaku agar ayahku di bawa ke rumah sakit. Permintaan ini tidak terpenuhi. Alasannya kondisinya sudah semakin baik dan sudah didatangkan dokter puskesmas terdekat.
Aku pun akhirnya meminta agar ayahku beristirahat cukup di sana, sebelum kembali ke Jakarta.
Karena kesibukan kantor aku tidak bisa menjemput ayahku.

Satu minggu sejak ayahku jatuh sakit tersebut, beliau memaksakan diri untuk kembali ke Jakarta. Aku meminta kepada bapak mertuaku untuk mengantarkannya ke Jakarta.
Yang bisa kulakukan adalah meminjam mobil kantor dan menjemput mereka berdua di stasiun Pasar Senen.

Aku melihat hal yang berbeda pada diri ayahku saat kulihat beliau turun dari gerbong kereta api. Dengan dipapah bapak mertuaku, ayahku berjalan perlahan. Wajahnya sayu sebagaimana orang yang memang sedang sakit. Baru kali ini aku melihat beliau seperti itu. Hari-hari sebelumnya, beliau selalu tampak bugar.

Ayahku bercerita bahwa penyebab kondisinya drop adalah karena selama dalam perjalanan mengantar jenazah, beliau berada dalam mobil rombongan yang kaca jendelanya dibuka sepanjang perjalanan. Posisi beliau berada di bagian belakang. Otomatis, terpaan angin malam yang masuk melalui jendela cukup keras.
Ayahku memang tidak tahan dengan angin. Beliau bahkan selalu menghindar dari posisinya bila ada anak atau cucunya yang menyalakan kipas angin. Hal yang sama dilakukan oleh Ibu kami. Mereka berdua memang lebih suka kepanasan daripada harus berangin-angin dengan kipas angin.

"Sampai di kampung, badan bapak sakit semua, Wat. Lemes", begitu ujar ayahku. Bahkan beliau bercerita bahwa ia tidak sanggup untuk mengantar jenazah hingga ke pemakaman karena kondisi tubuhnya yang mulai meriang.
Keesokkan harinya beliau menginap di rumah keluarga ibu kami. Jaraknya sekitar 5 kilometer dari kampung ayah. Kondisinya masih belum sehat. Dan malam itu musibah pun menimpa ayah kami.
Beliau menuturkan bahwa malam itu ia berniat menuju ke kamar mandi yang berada di samping kanan halaman depan rumah. Ya, di kampung kami kamar mandi memang berada terpisah dengan rumah induk.
Saat baru beberapa langkah ayahku merasa pusing dan lemas. Baru saja ia melangkah keluar dari pintu rumah tiba-tiba pandangan beliau kabur. Setelah itu beliau tidak ingat apa-apa.

Saudara kami yang malam itu tinggal bersama ayah kamu mengutarakan bahwa ayah kami tiba-tiba pingsan dan ambruk. Sontak hal ini membuat geger anggota keluarga yang lain.

Setiba di Jakarta, kondisi ayah ku tak kunjung membaik. Beberapa kali kubujuk untuk memeriksakan diri ke rumah sakit selalu beliau tolak. Sampai akhirnya, beliau sendiri yang meminta aku untuk memeriksakan diri ke rumah sakit untuk minta "disiram". Ini adalah istilah yang beliau pakai untuk pemberian infus pada tubuh seseorang.
Saat kubawa ke rumah sakit terdekat dari rumah, dokter UGD menyarankan agar ayahku di opname karena beberapa alasan. Dan akhirnya beliau pun berada di sana selama 2 minggu.

Sepulang dari rumah sakit, ayahku menunjukkan tanda-tanda pulih. Beliau sudah bisa bercanda dan bahkan sering mengajak aku untuk makan bareng bersamanya. Khususnya bila kakak atau ibuku membuatkan semur ceker ayam.
Berangsur-angsur ayahku sudah sehat. Namun kami, anak-anaknya, masih melarang beliau untuk tidak berlari pagi terlebih dahulu meskipun beliau sudah merasa sanggup. Untuk menghilangkan kejenuhan, beliau melakukan aktivitas jalan kaki di pagi hari namun tetap tidak jauh dari rumah.

Tak sampai 5 bulan kondisi kesehatan ayah ku menurun kembali. Kali ini beliau mengeluhkan gusinya yang membengkak. Saat ku ajak untuk ke dokter, kembali ia menolak. Akhirnya, kubelikan beliau obat penghilang rasa nyeri pada gusi.
Beberapa hari kemudian, saat aku sedang mengajar pada sebuah diklat di Gadog, Bogor, ayahku masuk ruang gawat darurat kembali....

***

Karena malam itu tak kunjung bisa tertidur, aku pun hanya merenung dan berdoa untuk kesembuhan ayahku. Namun entah mengapa, ada perasaan tidak enak menyelimuti diriku mala itu. Bayangan wajah ayahku yang sedang akan tertidur saat aku menjenguknya beberapa jam lalu selalu melintas dalam pikiranku.
Ada perasaaan menyesal yang amat sangat. Karena saat aku berkunjung, ibuku mencoba membangunkan ayahku yang sedang akan tidur untuk memberi tahu bahwa aku telah datang membesuk. Aku berkata pelan pada ibuku, "Biar aja Bu. Bapak kayaknya mau istirahat. Jangan diganggu."
Ayahku sempat membuka kelopak matanya sedikit. Memandangku sebentar dan kemudian tidur kembali.
Ibuku bercerita bahwa tadi siang banyak kerabat yang membesuk. Dan ayahku bisa bercengkrama dengan kerabat seolah dalam keadaan sehat. Mendengar hal ini perasaan ku sedikit lega. Aku akan mengunjungi beliau lagi esok pagi.

Lama rasanya menantikan saat subuh tiba. Begitu adzan berkumandang dari mushola di dekat rumah kami, aku segera mengambil wudhu dan menunaikan sholat subuh di rumah. Rasanya, itu adalah sholat ter-khusyuk yang pernah kulakukan.
Selesai sholat dipanjatkan doa kepada Ya Robbi untuk kesembuhan ayahku. Dalam doa pun kunyatakan untuk memberikan yang terbaik bagi ayahku...

Menjelang pukul 6 pagi aku bersiap menuju rumah sakit Husada. Di tengah perjalanan, hape ku bunyi dan bergetar beberapa kali. Karena aku sedang mengendari motor maka hape tidak bisa kuangkat.
Setelah memarkirkan sepeda motor, sambil berjalan menuju pintu masuk rumah sakit kubuka hapeku. Ada beberapa misscall dari kakakku dan sebuah sms. Saat kubuka sms, kontan kakiku terasa lemas. Isi sms mengabarkan bahwa ayahku telah berpulang pada pukul 5 pagi.... Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.....

Tubuhku ku sandarkan pada dinding tembok di sebelah pintu masuk rumah sakit. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Air mata masih dapat kutahan. Ini rupanya jawaban akan doa ku subuh tadi. Begitu rintihku.
Segera aku tersadar bahwa adikku yang sedang dalam perjalanaan bersepeda di pulau Flores perlu aku kabari segera. Kemarin ia aku kabari bahwa ayah kami masuk rumah sakit. Ia marah seolah-olah kami seperti tidak mengurusnya. Saat itu ia mengabarkan baru saja tiba di Larantuka. Ia berjanji akan mempercepat perjalanannya.

Aku agak khawatir tidak dapat menghubungi adikku karena masalah sinyal hape. Alhamdulillah setelah beberapa kali kuhubungi akhirnya ia mengangkat panggilan telponku. Saat kukabari kabar duka tersebut, kudengar adikku berteriak di seberang sana. Ia marah sekaligus menangis.
Aku hanya bilang padanya agar entah bagaimana caranya ia bisa menuju ke pulau Jawa dalam waktu segera. Tanpa pikir panjang, saat ia bertanya akan dimakamkan di mana ayah kami, spontan aku menjawab akan aku bawa ke kampung halaman beliau.

Delapan tahun lalu, Minggu, 6 Agustus 2008 menjadi catatan kelabu bagi diriku dan juga keluarga kami. Ayahanda tercinta berpulang ke Sang Pencipta. Belum banyak yang bisa kuberikan pada dirinya. Bahkan kesuksesanku di pekerjaan yang kutekuni tidak sempat beliau lihat.

Semoga engkau tenang di sana wahai Ayahanda nan luar biasa....
Hanya doa yang dapat kami panjatkan di setiap akhir sholat ku....
Kenangan akan dirimu yang luar biasa tak pernah terhapus dari ingatan kami....

Tangerang Selatan, 6 Agustus 2014

No comments: