Wednesday, February 09, 2011

Serial Motivasi: Cinta Pada Profesi


Tak Bisa Memilih
Seorang atasan saya pernah berpesan, “selama kamu masih berstatus sebagai pekerja, maka kamu tidak akan pernah bisa memilih ‘bapak/ibu buah’, ‘rekan buah’, maupun ‘anak buah’”. Pesan ini saya terima sekian tahun lalu. Tepatnya pada tahun 1999. Bagi saya, pesan ini cukup sederhana namun sarat akan makna. Saya diingatkan (lebih tepatnya disadarkan) bahwa sebagai seorang pegawai negeri sipil (PNS), kita tidak bisa menentukan sesuatu berdasarkan keinginan diri sendiri. Kita tidak bisa menginginkan agar kita ditugaskan hanya pada bagian tertentu, tempat tertentu, dan atasan/bawahan tertentu. Dedikasi yang kita berikan adalah dedikasi kepada organisasi. Bukan kepada jabatan, bukan kepada tempat, apalagi kepada atasan/bawahan. Dedikasi dalam bentuk pemberian kinerja terbaik haruslah didasarkan atas sikap profesionalisme yang dipersembahkan kepada organisasi. Ingat, di sektor pemerintahan organisasilah yang bertindak sebagai pihak pemberi kerja. Bila ingin diruntut lebih jauh, pemilik organisasi adalah masyarakat (baca: rakyat) maka sesungguhnya rakyatlah yang membayar seluruh penghasilan kita sebagai PNS.

Pada level tertentu, seorang pimpinan bisa saja menghendaki untuk memiliki staf tertentu. Banyak alasan yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan hal ini. Salah satunya adalah keinginan untuk terjaminnya capaian kinerja yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk mencapai hal ini, tentu saja seorang pimpinan akan memilih staf-staf yang dipandangnya mampu memberi kontribusi terbaik. Sungguh sesuatu yang wajar. Sebuah permasalahan akan timbul manakala sumber daya manusia (SDM) yang dipandang cakap (baca: kompeten) tidak memadai jumlahnya. Alokasi SDM tentu saja harus dilakukan tanpa memandang cakap atau tidaknya seseorang. Bila tidak, akan terjadi pengkonsentrasian SDM cakap dan SDM yang tidak cakap pada suatu unit. Akan terjadi kegiatan “saling memilih” (seleksi) SDM pada level pimpinan. SDM cakap akan dipertahankan sementara SDM tidak cakap cenderung dirotasi antarunit. Akibatnya, terjadilah “pertukaran antarsampah”. Menyedihkan bukan?

Seperti yang telah diutarakan di atas, memilih atau bahkan mempertahankan SDM cakap oleh seorang pimpinan adalah hal lumrah. Sayangnya, perilaku mempertahankan ini tanpa disadari kadang dapat menghambat karier seorang pegawai. Ketika seorang staf memiliki peluang untuk meningkatkan karier atau meningkatkan kompetensinya, sebaiknya seorang atasan harus secara ikhlas merelakannya. Regenerasi harus dilakukan sedini mungkin untuk menggantikan posisi staf yang “hilang” tadi. Tanpa melakukan hal ini, ada dua kemungkinan yang bakal terjadi. Pertama, staf tidak mendapatkan peluang peningkatan karier atau kompetensi. Kondisi ini tentu saja sangat merugikan pegawai yang bersangkutan. Kedua, pimpinan kehilangan staf andal tanpa mendapatkan pengganti yang sepadan. Akibatnya, performa unit bisa saja menurun.

Cinta Profesi
Ketidakcakapan SDM merupakan masalah lain yang perlu ditangani secara tepat. Diperlukan obat yang tepat atau resep yang jitu untuk menangani hal ini kasus demi kasus. Ketidakcakapan SDM tentu saja tidak dapat digeneralisasi begitu saja. Pastilah terdapat berbagai faktor penyebab ketidakcakapan tersebut. Setiap kasus penyebab ketidakcakapan harus diberikan treatment yang tepat. Bila perlu, lakukan audit SDM terlebih dahulu untuk mengetahui kesenjangan kompetensi yang ada dan faktor penyebabnya. Selanjutnya siapkan banyak “obat” jitu untuk menangani seluruh kasus ketidakcakapan ini. Jangan pernah lelah atau menyerah dengan situasi yang ada.

Menurut saya, salah satu obat jitu yang dapat diberikan adalah menumbuhkan rasa cinta pada profesi. Obat ini tentu saja tidak hanya diperlukan bagi SDM yang tidak cakap. Semua SDM memerlukan obat ini. Menumbuhkan rasa cinta pada profesi memang sangat tidak mudah. Hal ini berbeda dengan cinta hubungan sosial yang cenderung lebih mudah ditumbuhkan. Renungkan kata-kata motivasi berikut,”Ada kekuatan di dalam cinta. Dan orang yang sanggup memberi cinta adalah orang yang kuat karena ia bisa mengalahkan keinginannya untuk mementingkan diri sendiri.” [1] Bayangkan bila cinta pada profesi ada dalam diri setiap pegawai. Layaknya, ia akan memiliki kekuatan untuk menyisihkan kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan organisasi.

Wikipedia mendefinisikan cinta sebagai suatu perkataan yang mengandung makna yang rumit dan dapat dialami semua makhluk. Yang saya tahu sebagian orang tak dapat mendefinisikan cinta. Mereka mengatakan, “cinta tidaklah dapat diungkapkan dengan kata-kata.” Sebagian orang lainnya dengan nada religius mengatakan, “Cinta yang sesungguhnya adalah cinta Sang Khalik kepada hamba-Nya. Cinta seorang manusia hanya akan bermakna bilamana cinta tersebut didasari oleh rasa cinta kepada sang Pemilik.” Cinta oh cinta, takkan pernah habis untuk membicarakan hal yang satu ini. Bisakah kekuatan cinta ini menumbuhkan motivasi kerja? Jawabannya tentu saja, bisa!

Menanamkan dan menumbuhkan rasa cinta kepada profesi dapat dilakukan melalui pendekatan sosio-kultural dan pendekatan religi. Pendekatan sosio-kultural lebih mengedepankan emosi kemanusiaan sebagai makhluk sosial dengan memperhatikan budaya yang telah tertanam dalam jiwa seorang individu. Sedangkan pendekatan religi (pendekatan yang paling efektif menurut saya) lebih mengedepankan aspek spiritual atau agama yang dianutnya. Dalam banyak hal, sentuhan spiritual lebih dapat mendatangkan hasil dibandingkan sentuhan melalui sosio-kultural. Namun, kombinasi kedua pendekatan tersebut tentu saja akan menghasilkan kekuatan sinergi yang luar biasa.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana melakukan penanaman dan menumbuhkan rasa cinta pada profesi? Menurut saya, hal ini harus dimulai dengan proses pemahaman akan arti pentingnya bekerja. Untuk apakah kita bekerja? Untuk siapakah hasil kita bekerja? Apakah yang akan terjadi bila kita tidak bekerja? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini dapat terus-menerus disampaikan kepada seluruh pegawai untuk menumbuhkan kesadaran (consciousness) akan pentingnya bekerja. Melalui pendekatan religi, salah satu contoh bentuk pemahaman yang biasa ditanamkan adalah sebuah kesadaran bahwa bekerja merupakan bagian dari ibadah kepada-Nya.

Pegawai yang cakap pada umumnya akan sangat memahami makna pertanyaan di atas. Sementara pegawai yang tidak cakap, sesungguhnya ia mengerti namun tidak mengindahkan maknanya. Inilah pekerjaan rumah yang utama bagi siapa pun yang bekerja sebagai pengelola SDM, misalnya biro atau bagian kepegawaian. Pembinaan berkelanjutan sangat diperlukan untuk mencapai terciptanya rasa cinta tersebut. Memang, pembinaan ini bukan domain tugas biro atau bagian kepegawaian saja. Pembinaan merupakan tugas dari setiap seorang yang disebut atasan. Namun setiap individu pegawai pun selayaknya mampu memberikan pembinaan bagi dirinya sendiri.


Shared Value
Salah satu huruf S dari the 7-S of McKinsey Model [2] adalah Shared Value yaitu nilai organisasi yang dapat disebarluaskan kepada seluruh anggota organisasi. Nilai organisasi ini berupa nilai-nilai yang diyakini (belief) oleh seluruh anggota organisasi. Model McKinsey merupakan model organisasi yang telah dipergunakan selama puluhan tahun dalam proses pengembangan organisasi yang berorientasi pada performa. Setiap organisasi diwajibkan memiliki nilai ini untuk kemudian diinduksikan kepada seluruh anggota organisasi. Nilai yang telah ditetapkan tidak bisa hanya dipajang saja atau sebagai slogan semata. Penyebarluasan nilai-nilai hingga mampu merasuki pikiran seluruh anggota organisasi sangat dibutuhkan untuk terwujudnya pencapaian tujuan organisasi tersebut. Yang perlu disadari dalam proses ini adalah bawah nilai organisasi tidaklah akan terwujud tanpa didasari oleh rasa cinta pada profesi.

Renungkan juga kata-kata berikut, “Bila anda tak mencintai pekerjaan anda, maka cintailah orang-orang yang bekerja di sana. Rasakan kegembiraan dari pertemanan itu. Dan, pekerjaan pun jadi menggembirakan. Bila anda tak bisa mencintai rekan-rekan kerja anda, maka cintailah suasana dan gedung kantor anda. Ini mendorong anda untuk bergairah berangkat kerja dan melakukan tugas-tugas dengan lebih baik lagi. Bila toh anda juga tidak bisa melakukannya, cintai diri anda. Perjalanan yang menyenangkan menjadikan tujuan tampak menyenangkan juga. Namun, bila anda tak menemukan kesenangan di sana, maka cintai apapun yang bisa anda cintai dari kerja anda: tanaman penghias meja, cicak di atas dinding, atau gumpalan awan dari balik jendela. Apa saja! Bila anda tak menemukan yang bisa anda cintai dari pekerjaan anda, maka mengapa anda ada di sana? Tak ada alasan bagi anda untuk tetap bertahan. Cepat pergi dan carilah apa yang anda cintai, lalu bekerjalah di sana. Hidup hanya sekali. Tak ada yang lebih indah selain melakukan dengan rasa cinta yang tulus.” [3]

Jakarta Barat, 9 Februari 2011


[1] Motivasi Net, Andi Muzaki, Bagian Kelima, Halaman 191
[2] Silakan mencari tahu tentang model ini diberbagai literatur atau via internet
[3] Motivasi Net, Andi Muzaki, Bagian Pertama, Halaman 10

No comments: